welcome in mai pages

bagaimana pun pendapat kamu tentang blog mai,
mai berharap blog yang mai buat berguna buat kamu

Selasa, 29 Januari 2008

askep gagal napas akut

VII. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Pengkajian Primer
1. Airway

• Peningkatan sekresi pernapasan

• Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
2. Breathing

• Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.

• Menggunakan otot aksesori pernapasan

• Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis
3. Circulation

• Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia

• Sakit kepala

• Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk

• Papiledema

• Penurunan haluaran urine

VIII. DIAGNOSA DAN RENCANA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pola pernapasan yang efektif

Kriteria Hasil :
Pasien menunjukkan
• Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal
• Adanya penurunan dispneu
• Gas-gas darah dalam batas normal

Intervensi :
• Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan serta pola pernapasan.
• Kaji tanda vital dan tingkat kesasdaran setaiap jam dan prn
• Monitor pemberian trakeostomi bila PaCo2 50 mmHg atau PaO2< 60 mmHg
• Berikan oksigen dalam bantuan ventilasi dan humidifier sesuai dengan pesanan
• Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji kecenderungan kenaikan PaCO2 atau kecendurungan penurunan PaO2
• Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap 1 jam
• Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30 sampai 45 derajat untuk mengoptimalkan pernapasan
• Berikan dorongan utnuk batuk dan napas dalam, bantu pasien untuk mebebat dada selama batuk
• Instruksikan pasien untuk melakukan pernapasan diagpragma atau bibir
• Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg. PaO2 dan PCO2 meningkat dengan frekuensi 5 mmHg/jam. PaO2 tidak dapat dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih, atau pasien memperlihatkan keletihan atau depresi mental atau sekresi menjadi sulit untuk diatasi.


2. Gangguan pertukaran gas b.d. abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder terhadap hipoventilasi

Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pertukaran gas yang adekuat

Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan :
• Bunyi paru bersih
• Warna kulit normal
• Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan

Intervensi :
• Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
• Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn, laporkan perubahan tinmgkat kesadaran pada dokter.
• Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam PaCO2 atau penurunan dalam PaO2
• Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau PEEP.
• Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
• Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau penyimpangan
• Pantau irama jantung
• Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
• Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.
• Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.


3. Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo

Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi kelebihan volume cairan

Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan:
• TTV normal
• Balance cairan dalam batas normal
• Tidak terjadi edema

Intervensi :
• Timbang BB tiap hari
• Monitor input dan output pasien tiap 1 jam
• Kaji tanda dan gejala penurunan curah jantung
• Kaji tanda-tanda kelebihan volume : edema, BB , CVP
• Monitor parameter hemodinamik
• Kolaburasi untuk pemberian cairandan elektrolit

4. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu mempertahankan perfusi jaringan.

Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan
• Status hemodinamik dalam bata normal
• TTV normal

Intervensi :
• Kaji tingkat kesadaran
• Kaji penurunan perfusi jaringan
• Kaji status hemodinamik
• Kaji irama EKG
• Kaji sistem gastrointestinal

gagal napas akut

I. PENGERTIAN
• Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997)
• Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001)
• Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)

II. ETIOLOGI
1. Depresi Sistem saraf pusat

Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer

Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangatmempengaruhiventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks

Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.
4. Trauma

Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar
5. Penyakit akut paru

Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas.

6. Penyakit kardiovaskular

7. Pasca bedah toraks, laparotomi tinggi


III. PATOFISIOLOGI

Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.

Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).

Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari analgetik opioid. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.

Tiga mekanisme patologi yang mendasari terjadinya gagal nafas akut, yaitu

Hipoventilasi

Hipoventilasi didefinisikan sebagai keadaan dengan kadar CO2 arteri lebih dari 45 mmHg akibat berkurangnya udara yang mencapai alveolus, dengan perkataan lain ventilasi alveolus menurun.

Ventilasi alveolus = (isi pasang surut-ruang rugi) X laju nafas.

Hipotensi dapat terjadi akibat obstruksi jalan nafas, gangguan neuromuskulus, depresi pernafasan.

Gangguan difusi

Gangguan difusi gas terjadi akibat penebalan membran alveolus kapiler, misalnya pada keadan fibrosis interstitial, pneumonia interstitial, penyakit kolagen seperti skleroderma, penyakit membran hialin.

Kapasitas difusi CO2 adalah 20 kali lebih besar dari kapasitas difusi O2, sehingga pada gangguan difusi gejala yang pertama kali timbul adalah hipoksemia, biasanya diikuti oleh kompensasi berupa hiperventilasi berakibat PaCO2 menjadi rendah, apabila kompensasi tersebut gagal maka PaCO2 menjadi normal atau tinggi. Jadi keadaan hipoksemia dapat disertai hipokarbia, normokarbia, atau hiperkarbia. Sebaliknya bila hiperkarbia hampir selalu diikuti hipoksemia (pada suhu kamar).

Pintasan intra pulmoner, ruang rugi dan gangguan perbandingan ventilasi perfusi (V/G mismatch)

Pintasan intra pulmoner diartikan sebagai darah yang memperfusi paru tidak mangalami pertukaran gas karena alveolusnya tidak terventilasi, misalnya pada atelektasis.

Ruang rugi merupakan keadaan yang sebaliknya yaitu alveolus yang berventilasi tidak dapat melakukan pertukaran gas berhubung bagian paru tersebut tidak diperfusi oleh darah, contohnya pada emboli paru.

Pada paru normal perbandingan ventilasi atau perfusi adalah 0,85. pada gangguan ventilasi atau perfusi perbandingan tersebut dapat menjadi besar, contohnya pada paru yang mengalami hipoperfusi misalnya pada renjatan, sebaliknya pada keadaan obstruksi parsial atau asma, ada bagian paru yang mengalami hipoventilasi sehingga perbandingan ventilasi atau perfusi menjadi kecil.

IV. TANDA DAN GEJALA KLINIS

A. Tanda

Gagal nafas total

• Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.

• Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikula dan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi

• Adanya kesulitasn inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan

Gagal nafas parsial

• Terdengar suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan whizing.

• Ada retraksi dada

B. Gejala klinis

• Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)

• Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun)

Batuk dan berdahak

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Pemeriksaan gas-gas darah arteri

Hipoksemia

Ringan : PaO2 <>

Sedang : PaO2 <>

Berat : PaO2 <>• Pemeriksaan rontgen dada

Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui

• Hemodinamik

Tipe I : peningkatan PCWP
• EKG

Mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan Disritmia

Perubahan pola nafas dan pemeriksaan respirasi

Laju nafas

Penggunaan otot nafas pembantu

Isi semenit

VI. PENATALAKSANAAN MEDIS

Kunci untuk pengobatan gagal nafas akut adalah antisipasi terhadap kondisi ini selanjutnya untuk menghadapi kejadian yang ditimbulkannya. Tujuan penatalaksanaan untuk pasien gagal nafas akut adalah sebagai berikut:

Membuat oksigenasi arteri adekuat, dengan memeberi perfusi jaringan adekuat

Meniadakan penyebab dasar dari gagal nafas akut

Adapun terapi medis yang dilakukan yaitu:
• Terapi oksigen

Pemberian oksigen kecepatan rendah : masker Venturi atau nasal prong
• Perbaiki ventilasi

Perbaikan jalan nafas

Ventilasi bantuan : memompa dengan sungkup muka berkantung (bag and mask), IPPB

Ventilasi kendali : IPPV, IPPV + PEEP
• Inhalasi nebuliser
• Fisioterapi dada
• Pemantauan hemodinamik/jantung
• Pengobatan

Bronkodilator

Steroid
• Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan

Pengobatan spesifik yang ditujukan pada etiologinya

Asuhan Keperawatan Pada Klien Stroke

stroke atau cedera serebro vaskuler (cva), adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak.

Etiologi

1. Trombosis (bekuan darah didalam pembuluh darah otak atau leher)

2. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa keotak dari bagian bagian tubuh yang lain)

3. Iskemia (penurunan aliran darah kearea otak)

4. Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan kedalam jaringan otak atau ruang sekitar otak)

Faktor resiko dan pencegahan

1. Hipertensi merupakan faktor resiko utama

2. Penyakit kardiovaskuler (embolisme serebral mungkin berasal dari jantung)

3. Kadar hematokrit normal tinggi (yang berhubungan dengan infark serebral)

4. Diabetes (peningkatan aterogenesis)

5. Kontrasepsi oral, peningkatan oleh hipertensi yang menyertai, usia diatas 35 tahun, perokok kretek, dan kadar estrogen yang tinggi

6. Penurunan tekanan darah yang berlebihan atau dalam jangka panjang dapat menyebabkan iskemia serebral umum

7. Penyalahgunaan obat, terutama pada remaja dan dewasa muda

8. Konsulkan individu yang muda untuk mengontrol lemak darah (kolesterol), tekanan darah, merokok kretek, dan obesitas

9. Mungkin terdapat hubungan antara konsumsi alkohol dengan stroke

Manifestasi klinis

1. Kehilangan motorik

2. Kehilangan komunikasi

3. Gangguan perseptual

4. Kerusakan aktifitas mental dan efek psikologis

5. Disfungsi kandung kemih

Penatalaksanaan fase akut pada klien dengan stroke

1. Fase akut biasanya berlangsung 48 sampai 72 jam

2. Pertahankan jalan napas dan ventilasi yang adekuat

3. Baringkan klien dengan posisi lateral atau semi telungkup dengan kepala tempat tidur sedikit ditinggikan

4. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik

5. Pantau terhadap komplikasi pulmonal (aspirasi, atelektasis, pneumonia)

6. Periksa jantung terhadap abnormalitas ukuran, irama, dan tanda-tanda gagal jantung kongestif

Penatalaksanaan medis

1. Diuretik

2. Antikoagulan

3. Obat-obat antiplatelet

Asuhan keperawatan

pengkajian keperawatan

1. Kaji perubahan tingkat ketanggapan atau kesadaran

2. Kaji ada tidaknya gerakan volunter atau involunter dari ekstremitas; tonus otot; postur tubuh; dan posisi kepala

3. Kaji kekakuan atau flaksiditas leher

4. Kaji pembukaan mata,ukuran pupil komparatif dan reaksi pupil terhadap cahaya, dan posisi okuler

5. Kaji warna dari wajah dan ekstremitas; suhu dan kelembaban kulit

6. Kaji kualitas dan prekuensi nadi dan pernapasan; gas darah arteri, suhu tubuh, dan tekanan arteri

7. Kaji kemampuan untuk berbicara

8. Kaji intake dan output cairan per 24 jam

9. Orientasikan terhadap nama, waktu dan tempat


Diagnosa keperawatan utama dan rencana keperawatan

1. Kerusakan mobilitas fisik b.d hemiparesis, kehilangan keseimbangan dan koordinasi, spastisitas, dan cedera otak

Intervensi:

  • Pertahnkan agar klien tetap berbaring datar ditempat tidur
  • Tinggikan lengan yang sakit untuk mencegah edema dan fibrosis
  • Ubah posisi setiap 2 jam

2. Kurang perawatan diri b.d akibat stroke

Intervensi:

  • Dorong klien dalam higiene personal
  • Beri dorongan untuk menjalankan aktifitas perawatan diri pada sisi yang tidak sakit
  • Pastikan klien tidak melalaikan sisi tubuh yang sakit

3. Perubahan proses fikir b.d kerusakan otak, kebingungan, dan ketidakmampuan untuk mengikuti instruksi

Intervensi:

  • Bentuk program pelatihan dengan menggunakan pencapaian konseptual kognitif, imajinasi visual, dan orientasi realitas

· Berikan umpan balik positif dan tunjukkan sikap percaya dan penuh harapan

4. Kerusakan komunikasi verbal b.d kerusakan otak

Intervensi:

  • Berikan dukungan moral dan pahami ansietas klien
  • Buat atmosfer yang dapat menghantarkan terciptanya komunikasi
  • Pertahankan perhatian klien, berbicara perlahan, dn berikan satu instruksi pada satu kesempatan; berikan klien untuk berpikir

5. Gangguan rasa nyaman: nyeri bahu kiri b.d hemiplegia dan disuse

Intervensi:

  • Dorong pasien untuk melakukan latihan rps pada sisis yang sakit
  • Berikan mobilisasi sesuai kebutuhan pada sisi yang sakit
  • Instruksikan klien membuat gerakan menjalin pada jari-jari

6. Perubahan proses keluarga b.d kebosanan pemberi asuhan

Intervensi:

· Berikan konseling dan dukungan pada klien dan keluarga

· Jelaskan pada keluarga bahwa kelabilan emosional akan mengalami perbaikan seiring waktu

· Jelaskan pada keluarga tentang pentingnya support sistem pada klien

sindrom steven jonson

A. Definisi SJS

Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM).

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.

Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya.

B. Etiologi SJS

Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri, termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, alasan SJS yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu.

Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).

C. Faktor presipitasi SJS

Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SJJ terjadi 1-3 kasus per satu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia.

Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit lebih rentan daripada laki-laki.

D. Patofisiologi SJS

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi :

1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan

2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat

3. Kegagalan termoregulasi

4. Kegagalan fungsi imun

5. Infeksi

E. Manifestasi klinis SJS

SJS dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok.

Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok.

Pada SJS dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.

Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.

Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya. Gejala awal termasuk:

s ruam

s lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin

s kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh.

s mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.

s bengkak di kelopak mata, atau mata merah.

s Pada mata terjadi: konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

s demam terus-menerus atau gejala seperti flu

Bila kita mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila kita baru mulai memakai obat baru, segera periksa ke dokter.

F. Diagnosa SJS

Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.

G. Diagnosis banding SJS

Ada 2 penyakit yang sangat mirip engan sindroma Steven Johnson:

1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan TEN. SSJ dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.

2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena.

H. Pemeriksaan penunjang SJS

a. Pemeriksaan laboratorium:

· Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam menegakkan diagnosa.

· Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.

· Determine renal function and evaluate urine for blood.

· Pemeriksaan elektrolit

· Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.

· Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan

b. Imaging Studies

· Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis

c. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosa.

I. Prognosis SJS

SJS dan TEN adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami TEN dan 5-15 persen orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.

Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

J. Komplikasi SJS

Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:

o Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan

o Gastroenterologi - Esophageal strictures

o Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina

o Pulmonari – pneumonia

o Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder

o Infeksi sitemik, sepsis

o Kehilangan cairan tubuh, shock

K. Penatalaksanaan SJS

Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan.

Orang dengan SJS/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SJS biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri, misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman.

Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.

Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :

ü Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.

ü Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

ü Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

ü Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.

ü Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

ü Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

ü Lesi mulut diberi kenalog in orabase.

ü Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

ü Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.

penyakit alzheimer


Pdpersi, Jakarta - Penyakit Alzheimer adalah suatu penyakit degeneratif otak yang progresif, dimana sel-sel otak rusak dan mati sehingga mengakibatkan gangguan mental berupa kepikunan (demensia) yaitu terganggunya fungsi-fungsi memori (daya ingat), berbahasa, berpikir dan berperilaku. Sebagian besar demensia disebabkan oleh penyakit Alzheimer (60%). Demensia adalah suatu penyakit yang dapat ditatalaksana, dan demensia bukan merupakan bagian normal dari proses penuaan!

peningkatan jumlah kasus pada kelompok usia yang lebih muda (sekitar 40 - 50 tahun).

Penyebab Alzheimer saat ini belum diketahui pasti, hasil penelitian menunjukkan adanya interaksi faktor pembawa sifat (genetik) dan lingkungan. Menurut para pakar yang mempunyai resiko terkena Alzheimer adalah:

  • Usia menua: Alzheimer dijumpai sebanyak 3 % pada orang berusia 65 - 74 tahun, dan 30 % pada usia diatas 85 tahun.
  • Keturunan / genetik: riwayat demensia dalam keluarga.
  • lainnya: cedera kepala, pendidikan kurang (hipoaktivitas otak), hipertensi, sindrom Down, dan jumlah alel gen APO E4.

Hal-hal yang dianggap dapat melindungi seseorang dari Alzheimer adalah gen APO E2&3, pendidikan tinggi (aktivitas otak tinggi), pemakaian Estrogen, dan penggunaan obat anti inflamasi. Meskipun penyebab belum diketahui, namun gangguan mental demensia (kepikunan) ini telah dapat ditatalaksana dengan baik melalui berbagai upaya. Penatalaksanaan ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara mengatasi gejala kognitif dan perilaku serta memperbaiki fungsi kehidupan pasien sehari-hari.

Usia Senja

Dekade ke lima (usia lima puluhan) merupakan masa puncak karir sebelum pensiun. Memasuki usia enam puluhan kerap kali timbul kecemasan, apakah saya akan tetap berperan dalam keluarga/masyarakat, apakah saya akan kesepian dan hidup sendiri? Usia lanjut merupakan masa bersepuh emas dimana hampir seluruh tugas manusia dewasa (membesarkan anak, mencari nafkah, berprestasi dalam pekerjaan) sudah berlalu.

Usia lanjut adalah saat untuk menikmati kehidupan yang lebih baik, tetap beraktivitas, mencipta/kreatif dan bijaksana membagikan pengalaman hidup. Erickson mengatakan bahwa di usia lanjut dapat terjadi masa krisis bilamana seseorang gagal mencapai integritas diri dalam hidupnya, Integritas diartikan sebagai rasa puas bahwa hidupnya mempunyai arti dan telah mencapai keberhasilan.

Krisis terjadi bila timbul rasa putus asa, yaitu kehilangan harapan yang berakibat individu menarik diri dari interaksi sosial dan membenci lingkungannya. Seseorang dengan keadaan despair dapat mempunyai perasaan takut mati. Kemampuan seseorang menerima kenyataan masa lalu adalah salah satu kunci menuju integritas yang utuh.

Pada umur berapakah seseorang dikatakan berusia lanjut? Berpedoman pada WHO, usia lanjut adalah mereka yang berumur 60 - 74 tahun. Antara 75 - 90 tahun disebut tua, dan diatas 90 tahun disebut sangat tua.

Sejalan dengan pertambahan usia seluruh fungsi sistem tubuh berangsur-angsur menurun. Umumnya fungsi kognitif (daya pikir, daya ingat, perilaku dan kepribadian) tetap bertahan sekalipun fisik sudah renta jika tidak mengalami kepikunan (demensia).

Proses penuaan ini dipengaruhi sifat bawaan/keturunan dan paparan lingkungan seperti zat-zat yang merusak sel-sel tubuh (radikal bebas, sinar uv, polusi, penyakit, dll). Seseorang yang berusia 63 tahun bisa saja tampak seperti masih berusia 50 tahun secara biologis. Sebaliknya seorang yang baru berusia 40 tahun dapat berpenampilan seperti nenek usia 60 tahun jika terjadi proses penuaan dini karena penyakit atau sebab lainnya.

Tanda-tanda Demensia/Pikun

  • Lupa kejadian yang baru dialami. Lupa akan nama teman, nomor telepon rekan bisnis dan pekerjaan adalah hal yang biasa terjadi, masih dapat dikatakan normal karena biasanya kita masih dapat mengingatnya lagi beberapa saat kemudian. Orang dengan kepikunan / demensia mengalami kelupaan yang sangat sering sehingga mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari, dan mereka tidak dapat mengingat kembali kejadian yang baru dialaminya sekalipun telah dicoba mengingatkan kembali.
  • Kesulitan melakukan pekerjaan sehari-hari. Seseorang yang penuh kesibukan bisa saja meninggalkan dapur dalam keadaan berantakan dan baru ingat untuk menghidangkan dan merapikannya setelah hampir selesai makan. Seseorang dengan demensia Alzheimer mungkin dapat menyiapkan makanan di dapur tetapi kemudian bukan hanya tidak ingat untuk menghidangkannya di meja makan bahkan ia juga lupa bahwa ia telah memasak makanan didapur.
  • Kesulitan dalam berbahasa. Kadang-kadang seseorang mengalami kesulitan untuk mencari kata yang tepat untuk berbicara, tetapi orang dengan penyakit Alzheimer dapat lupa kata-kata yang sederhana atau menggantikannya dengan kata yang tidak sesuai, sehingga kalimat yang diucapkannya tidak dapat dimengerti.
  • Disorientasi waktu dan tempat. Lupa nama hari atau tempat tujuan untuk sesaat masih termasuk normal. Akan tetapi jika terjadi lupa tempat dimana ia berada, tersesat di jalan yang biasa dikenalnya, tidak tahu bagaimana ia sampai di tempat tsb dan tidak bisa mencari jalan pulang ke rumahnya sendiri maka hal ini menunjukkan gejala penyakit Alzheimer.
  • Tidak mampu membuat keputusan. Seorang ibu dapat terlarut, asyik dan tenggelam dalam aktivitasnya sementara waktu sampai lupa memperhatikan anak-anaknya. Tetapi orang dengan Alzheimer akan lupa sama sekali bahwa ia tengah menjaga anak-anaknya. Bisa jadi iapun berpakaian tidak sebagaimana mestinya, misalnya memakai baju berlapis-lapis atau pergi ke kantor dengan pakaian tidur.
  • Kesulitan berpikir abstrak. Penderita Alzheimer akan mengalami kesulitan dalam hitung menghitung, kalimat majemuk dan peribahasa maupun pemahaman konsep.
  • Salah menaruh barang-barang. Setiap orang bisa saja lupa dimana menaruh kunci atau dompet. Seseorang dengan penyakit Alzheimer mungkin dapat meletakkan benda-benda di tempat yang tidak seharusnya misalnya seterika ditaruh di dalam kulkas, atau arloji diletakkan di dalam panci.
  • Perubahan suasana perasaan dan perilaku. Setiap orang bisa merasa sedih dan murung dari waktu ke waktu. Seorang penderita Alzheimer dapat memperlihatkan perubahan suasana perasaaan dalam waktu singkat, dari tenang-tenang tiba-tiba menjadi menangis atau marah tanpa suatu alasan yang jelas.
  • Perubahan kepribadian. Meskipun usia dapat berpengaruh terhadap perubahan kepribadian, namun seseorang dengan penyakit Alzheimer menunjukkan perubahan kepribadian yang drastis, misalnya menjadi pencuriga, penakut atau mudah bimbang dan kebingungan.
  • Kehilangan inisiatif. Merasa lelah terhadap pekerjaan rumah tangga, aktivitas bisnis atau kegiatan sosial lainnya adalah normal bila setelah beberapa waktu mempunyai minat kembali. Seseorang dengan Alzheimer dapat menjadi sangat pasif dan apatis sehingga diperlukan usaha keras dan untuk menarik minatnya agar mau ikut beraktivitas.

Pencegahan demensia

Apakah demensia / kepikunan dapat dicegah? Sebenarnya kepikunan dapat diperlambat munculnya dengan cara memperbanyak aktivitas yang berhubungan dengan fungsi otak (olah raga, sosialisasi, berkarya). Makanan yang sehat dan bergizi, kesehatan mental dan fisik juga berperan dalam munculnya gangguan demensia.

Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa pemakaian hormon estrogen, penggunaan obat anti inflamasi, nikotin dan hormon pemacu pertumbuhan bisa memperlambat terjadinya kepikunan. Pengenalan dini terhadap gangguan ini sangat berarti dalam menatalaksana pasien dan keluarganya. Jika proses demensia telah berlanjut maka biasanya penatalaksanaan menjadi lebih kompleks.

Penatalaksanaan

Apa yang harus dilakukan jika dijumpai gejala-gejala pikun/demensia pada orang yang kita cintai? Pertama-tama buatlah perjanjian untuk memeriksakan diri anda ke dokter. Diskusikan gejala yang anda alami dan menjadi masalah atau mengganggu tugas anda sehari-hari. Biasanya dokter yang memeriksa akan merujuk pasien pada dokter spesialis (psikiater, neurolog dan geriater) agar dilakukan pemeriksaan lebih teliti dan mendalam.

Disamping itu ada juga lembaga swadaya masyarakat seperti asosiasi Alzheimer setempat yang dapat memberikan informasi dan bantuan yang diperlukan dalam menangani penderita Alzheimer. Kelompok-kelompok pendukung pelaku rawat (caregiver support group) sangat menunjang penatalaksanaan yang diberikan pada pasien. Karena bukan hanya obat yang diperlukan, tetapi terlebih-lebih adalah cara-cara merawat dan bersikap terhadap penderita Alzheimer sangat penting untuk keberhasilan terapi.

Baik keluarga, penderita maupun caregiver perlu mendapat pengetahuan yang mencukupi tentang penyakit Alzheimer agar mampu bekerja sama dengan dokter yang merawat. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan / aktivitas bagi para penyandang demensia berupa day care, community services dll sangat berarti dalam meningkatkan kualitas hidup penderita Alzheimer.

Informasi tentang Alzheimer dapat diperoleh di: AAzI (Asosiasi Alzheimer Indonesia) Sekertariat: jl. Pusdika RT 008 RW 07 KM. 17 Cibubur, Jakarta 13720